BREAKING NEWS
Search

Kisah Tabi’in Abdurrahman Al-Ghafiqi

Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz melakukan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kebijakan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Ia meninjau ulang para Gubernurnya di berbagai daerah. Sebagian tetap pada kedudukannya, sebagian lagi diganti dengan pejabat baru.

Orang pertama yang diangkat sebagai Gubernur adalah Samh bin Malik Al-Khaulani. Ia dipercaya untuk menangani berbagai daerah dan kota yang telah dibuka. Gubernur ini lantas mengunjungi Andalusia untuk mengecek kondisi penduduknya. Dalam kesempatan itu, ia menyempatkan diri mencari apakah masih hidup ulama dari kalangan Tabi’in. Ternyata masih ada, yaitu Abdurrahman Al-Ghafiqi.

Gubernur Samh mendengar pengetahuan Al-Ghafiqi tentang Al-Qur’an, pemahamannya tentang hadits Rasulullah SAW, pengalamannya di berbagai medan pertempuran, kerinduannya untuk menjemput syahid, juga sikap zuhudnya terhadap gemerlap duniawi. Lebih dari itu, ia mendengar bahwa Al-Ghafiqi pernah bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab, bahkan sempat menimba ilmu dan akhlak darinya.


Gubernur Samh lantas meminta Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk datang menemuinya. Ia menyambut Al-Ghafiqi dengan penuh hormat, dan memintanya untuk duduk di dekatnya. Samh menceritakan berbagai uneg-unegnya. Ghafiqi pun memberikan berbagai nasihat dan saran, tak lupa ia menganjurkan agar sang Gubernur terus menunaikan tugasnya dengan baik dan benar.

Menimbang nasihat dari Al-Ghafiqi itu, Samh menawarkan jabatan untuk menangani wilayah Andalusia, kini masuk wilayah Spanyol.

Tawaran itu dijawab oleh Al-Ghafiqi:

“Wahai Gubernur, aku hanyalah orang biasa, seperti yang lain. Aku datang ke daerah ini hanya untuk mengetahui batas-batas daerah kaum muslimin dan batas-batas fartah musuh mereka. Aku haya meniatkan diriku untuk mencari ridlo Allah yang Maha Agun, dan aku membawa pedangku ini hanya untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Insya’allah Gubernur akan melihatku selalu taat selama engkau menegakkan kebenaran. Aku akan selalu mengikuti perintah Gubernur, selama anda taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya, walaupun aku tidak diberi kekuasaan dan perintah.”



Tak lama berselang setelah pertemuan itu, Gubernur Samh bin Malik, bertekad untuk menaklukkan seluruh wilayah Prancis dan menyatukannya dengan wilayah Negara Islam. Saat penyerangan itu, terjadilah peristiwa mengenaskan dan tragis, Samh bin Malik gugur karena tertusuk panah. Seandainya tentara kaum muslimin tidak mendapatkan pertolongan Allah dengan seorang jenius sebagai komandan perang, yang bernama Abdurrahman Al-Ghafiqi, tentulah kaum muslimin akan menderita kekalahan yang sangat fatal.

Al-Ghafiqi tampil memimpin komando perjuangan, sehingga dapat menekan kerugian dan derita kekalahan sekecil mungkin. Dia berhasil membawa tentara kaum muslimin pulang ke Spanyol. Namun dalam hatinya ia tetap bertekad untuk mengulang serangan.

Berita besar yang dialami kaum muslimin di Prancis itu telah menggelisahkan dan mengguncangkan hati sang Khalifah di Damaskus. Pertempuran dahsyat dan berani yang diusung oleh Samh bin Malik telah membakar api keberanian pasukan kaum muslimin untuk meneruskan perjuangan itu.

Abdurrahman Al-Ghafiqi akhirnya ditunjuk sebagai pemimpin untuk wilayah Andalusia. Daerah-daerah Prancis dan sekitarnya yang berhasil dibebaskan disatukan di bawah komandonya. Sepenuhnya dia ditugaskan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Damaskus untuk mengurus wilayah Prancis dan sekitarnya secara independent. Pemberian wewenang ini menunjukkan betapa Abdurrahman Al-Ghafiqi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, kuat kemauan, gigih, taqwa, bersih dan bijaksana dalam memimpin dan mengambil keputusan.

Sejak awal kepemimpinannya, dia segera bekerja mengembalikan kepercayaan diri bala tentaranya, membangkitkan semangat mereka. Yang paling penting dari itu adalah menjelmakan tujuan dan cita-cita besarnya kepada tentara kaum muslimin di Andalusia, yang telah dirintis oleh Musa bin Nusair dan Smah bin Malik Al-Khaulani.

Kaum muslimin bertekad meneruskan gerakan pembebasannya di wilayah Eropa. Mulai dari Prancil hingga menembus dinding negeri Italia dan Jerman. Rencana selanjutnya adalah membebaskan Konstantinopel, menyusul laut tengah.

Abdurrahman Al-Ghafiqi yakin sepenuhnya bahwa dalam mempersiapkan pertempuran besar itu harus dimulai dari memperbaiki dan mensucikan jiwa (Tazkiyah an-Nafs). Ia juga yakin, tidak ada satu umatpun yang dapat mewujudkan kemenagnan dan meraih cita-citanya jika benteng jiwanya sudah rapuh, terkikis dari dalam.

Berpegang pada keyakinannya itu, Al-Ghafiqi mulai berkeliling Andalusia, meninjau kekuatan daerah perdaerah. Selanjutnya ia memasang pengumuman yang berisi: Barangsiapa yang mempunyai persoalan dan merasa dizalimi oleh Gubernur, hakim, atau orang lain, ia harus melaporkannya kepada Gubernur, sebab kedudukan kaum muslimin dengan non-muslim sama dalam hal ikatan perjanjian.

Selanjutnya, dia mulai memeriksa laporan-laporan yang masuk satu persatu. Jika dia menemukan ketidakadilan, segera ia luruskan. Seperti menyelesaikan masalah tempat-tempat ibadah dan tanahnya yang bersifat rampasan atau diperoleh melalui tekanan. Dalam masalah ini, ia menyerahkan kepada pemilik aslinya sesuai dengan perjanjian, menghancurkannya atau merelakannya dengan ganti rugi. Ia juga memeriksa para pejabat satu persatu. Jika ada yang menyeleweng atau korupsi, ia tidak segan mencopotnya dan menggantinya dengan orang yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab, baik dalam kebijakan maupun dalam mengambil keputusan.



Setiap kali mengunjungi daerah kekuasaan kaum muslimin, dia selalu mengajak orang-orang untuk shalat berjemaah. Ia juga menganjurkan mereka untuk terus berjihad, dan menyemangati mereka agar selalu mengharapkan ridlo Allah swt dan berbahagia dengan pahalanya. Ucapan Abdurrahman Al-Ghafiqi selalu disertai dengan perbuatan. Jika ia bercita-cita selalu disertai dengan usaha. Maka langkah pertama untuk memperkuat daerah kekuasaannya adalah dengan mengadakan persiapan dan melengkapi persenjataan, memperbaiki kamp tentara yang berdekatan dengan daerah musuh, membangun benteng-benteng, membangun jembatan. Diantara jembatan terbesar yang ia bangun adalah jembatan Qurthubah (dalam literatur Inggris disebut Cordova), ibukota Andalusia (kini Spanyol).

Jembatan itu ia bangun di atas sungai Cordova yang besar, agar masyarakat dan tentaranya dapat menyebrang dengan mudah, selain dimaksudkan untuk menghindari wilayah itu dari serangan banjir. Jembatan ini termasuk salah satu keajaiban dunia. Panjangnya mencapai 80 hasta, tingginya 60 hasta, dengan 19 kaki tiang penyangga. Jembatan tersebut kini terletak di daerah Spanyol dan sampai sekarang tetap berdiri tegak sebagai bukti sejarah.

Salah satu gambaran perpaduan antara sikap perwira dan sikap rendah hati Al-Ghafiqi selalu berkumpul dengan pasukan dan pemuka masyarakat di setiap daerah yang ia bebaskan. Ia selalu mendengar dan memperhatikan perkataan orang-orang yang ada disekitarnya. Mencatat semua kritik dan mengambil manfaat dari setiap nasehat mereka.

Dalam setiap pertemuan, ia lebih sering mendengarkan dan hanya seperlunya bicara, ini sering dilakukan ketika mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim maupun dengan para pembesar Ahlu Dzimmah. Dalam pertemuan itu, biasanya ia lebih banyak bertanya kepada mereka tentang berbagai macam masalah yang terjadi di daerah mereka, juga tentang unek-unek yang terkait dengan penguasa dan kepala pasukan mereka.

Suatu ketika, ia mengundang seorang pembesar Ahlu Dzimmah keturunan Prancis untuk berbincang-bincang tentang berbagai persoalan. Al-Ghafiqi bertanya, “Bagaimana keadaan Karel, Raja Besar engkau? Mengapa ia tidak menantang kami untuk berperang, tapi juga tidak menyelamatkan daerah-daerah kekuasaannya yang telah kami bebaskan?”

Bangsawan Prancis itu menjawab dengan panjang lebar, “Wahai Gubernur! Engkau telah memenuhi apa yang telah engkau janjikan. Hakmu atas kami adalah bahwa kami harus menjawab jujur tentang apa saja yang engkau tanyakan. Panglima Besar anda, Musa bin Nusair, telah menguasai seluruh Spanyol, dia terus bertekad untuk menguasai gunung Pyrenia yang memisahkan daerah Andalusia dengan daerah kami yang indah ini.



Maka para penguasa di berbagai daerah bagian itu lari berlindung kepada Raja kami. Kami juga telah mendengar rencana kaum muslimin. Kami khawatir mereka akan menyerang dari ujung timur, sebab mereka kini telah berada di wilayah barat, bahkan mereka telah menguasai seluruh Spanyol, mereka juga merampas semua yang ada di sana, baik bekal maupun peralatan perang. Sekarang mereka telah naik ke puncak gunung yang menjadi pemisah antara kita dengan mereka. Padahal jumlah mereka sangat sedikit dengan persenjataan yang serba terbatas. Kebanyak dari mereka tidak mempunyai baju besi yang dapat menangkis serangan pedang ataupun kendaraan yang dapat mereka kendarai menuju medan perang.

Ketika itulah Raja (Prancis) berkata, “Aku telah lama memikirkan apa yang terbetik dalam hati dan pikiranmu. Aku juga telah mengamatinya dengan seksama. Menurutku, saat ini kita jangan menghadapi sepak terjang kaum musimin. Sebab mereka saat ini bagaikan air bah yang mengalir deras dan dapat menelan apa saja yang merintangi jalannya, membawanya dan melemparkannya kemana saja mereka sukai.

Aku sangat paham, mereka adalah kaum yang mempunyai akidah dan niat tulus yang tidak membutuhkan banyak tentara, bekal maupun persiapan. Mereka mempunyai Iman dan kejujuran, yang dapat menjadi benteng dan pengganti baju besi dan peralatan perang. Hadapilah mereka secara pelan-pelan sampai tangan mereka penuh dengan harta rampasan yang bisa membiayai pembangunan istana untuk mereka sendiri. Biarkan mereka mengumpulkan budak dan buruh. Biarkan mereka berebut kekuasaan antara mereka sendiri. Saat itulah kalian akan mampu mengalahkan mereka dengan mudah. Karena saat itu semangat mereka telah mulai berkurang.”

Uraian panjang lebar itu membuat hati Al-Ghafiqi terketuk sepenuh kesedihan. Iapun menutup pertemuan itu dengan ajakan shalat bersama, karena waktu shalat telah tiba.

Al-Ghafiqi mempersiapkan bekal peperangan selama dua tahun penuh. Ia mempersiapkan pasukan bala tentara, membangkitkan dan mendorong semangat mereka, dia juga meminta tambahan pasukan kepada Gubernur di Afrika. Ia mengirim utusan kepada Gubernur Tsughur Utsman bin Abi Nus’ah untuk bersiap-siap menghadapi serangan musuh, dan agar mengulkan bala tentara sebanyak-banyanya. Namun sayangnya Utsman menyimpan rasa iri kepada setiap Gubernur yang mempunyai cita-cita tinggi dan kemauan keras, yang berani melakukan perbuatan besar yang dapat mengangkat namanya di mata umat. Ia sangat khawatir nama penguasa dan Gubernur lainnya tenggelam. Lagi pula Utsman berhasil menikahi putrid Raja Aquitane, dalam sebuah penyerangan dengan Prancis. Nama putrid itu adalah minin.



Minin adalah yang masih remaja yang berparas sangat cantik, elok dan menarik. Utsman terpikat oleh kecantikannya itu. Minin mempunyai tempat tersendiri di hati Utsman, tidak seperti istri-istri yang lainnya.

Minin inilah yang mempunyai peran penting dalam mendamaikan ayahnya denga Utsman agar berani melakukan perjanjian dengan ayah Minin. Isi perjanjian itu adalah melindungi ayah Minin dari serangan kaum muslimin atas daerah kekuasaannya yang merupakan batas antara Tsughur dan Andalusia.



Ketika permohonan Abdurrahman Al-Ghafiqi datang kepada Utsman untuk menyerang daerah kekuasaan ayah Minin, ia merasa bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi ia harus mengamankan daerah itu, karena terikat perjanjian dengan ayah Minin, tapi di sisi lain ia harus memenuhi permohonan Al-Ghafiqi. Akhirnya, pilihan pertamalah yang diambl oleh Utsman. Ia segera menulis surat balasan kepada Al-Ghafiqi, ia beralasan bahwa ia tidak dapat memenuhi perintah tersebut karena telah terikat perjanjian dengan Raja Aquitane, dan ia tidak bisa merusak perjanjian dengannya sebelum masa perjanjian itu habis.

Surat balasan itu membuat Abdurrahman Al-Ghafiqi geram. Iapun kemudian mengutus seseorang untuk menyampaikan surat kepada Utsman. Dalam surat itu Al-Ghafiqi menekan Utsman agar melaksanakan perintahnya tanpa ragu-ragu, karena perjanjian antara Utsman dan Raja Perancis itu dibuat tanpa sepengetahuan Gubernur Muslim yang membawahi Utsman.

Namun Utsman tetap tidak mau mematuhi perintah sang Gubernur, bahkan ia mengirim utusan kepada ayah Minin untuk memberikan apa yang sedang terjadi dan memintanya agar berhati-hati dan waspada dari serangan kaum muslimin.

Al-Ghafiqi tidak tinggal diam, mata-matanya terus mengikuti gerak-gerik Utsman. Mereka datang melaporkan padanya tentang hubungan Utsman dengan pihak musuh.

Mendengar berita itu, Al-Ghafiqi segera mengirim bala tentaranya. Dengan perintah tegas, tangkap Utsman, hidup atau mati.

Pertempuran antara pasukan Utsman dengan pasukan Al-Ghafiqi pun meletus. Pasukan Utsman terus terdesak sehingga ia melarikan diri ke gunung bersama istrinya, Minin dengan beberapa orang pengikutnya. Bala tentara Al-Ghafiqi terus mengejar mereka dan mengepungnya. Utsman membela diri dan istrinya mati-matian, namun akhirnya ia tewas. Jenazah Utsman dan istrinya dibawa pada Al-Ghafiqi.

Berita sedih tentang kematian Utsman dan istrinya, telah sampai ke telinga Raja Aquitane. Ia sadar genderang perang telah ditabuh. Ia yakin singa Islam, Al-Ghafiqi akan tiba di daerahnya, kalau tidak pagi pasti sore. Dia mempersiapkan pertahanan yang kuat dan berantai agar setiap jengkal tanah kekuasaannya tidak lepas begitu saja. Dia takut digiring sebagai tawanan ke kota khalifah di Syam, sebagaimana putrinya telah digiring ke sana.

Dugaan Raja Aquitane tidak meleset, Abdurrahman Al-Ghafiqi berangkat dengan kekuatan seribu tentara dari utara Andalusia. Mereka bergerak bagaikan angin puyuh dari arah gunung Pyrenia, selatan Perancis.

Tentara Islam bergerak menuju jantung Kota Arel Orleans yang terletak di pinggir sungai Rhone. Langkah itu sudah diperhitungkan. Sebab sebelumnya warga kota Arel Orleans telah mengadakan perjanjian dengan umat Islam, dengan ketentuan penduduk Arel membayar upeti kepada kaum muslimin. Tetapi setelah Samh bin Malik Al-Khaulani syahid dalam pertempuran di Thulus (Toulouse) dan kaum muslimin pun kalah, penduduk Arel pun tidak mau mematuhi perjanjian itu dan menolak membayar upeti.

Akhirnya bertemulah kedua pasukan itu, perang pun berkecamuk dahsyat. Abdurrahman Al-Ghafiqi menginstruksikan bala tentaranya yang cinta syahid itu masuk dan menyerang ke tengah-tengah musuh. Musuh akhirnya dapat dikalahkan. Ia berhasil memperoleh harta rampasan yang tak terhitung jumlahnya. Sedangkan Raja Aquitane melirikan diri dengan sisa-sisa tentaranya yang masih hidup. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bertempur kembali melawan tentara muslim.

Tentara Al-Ghafiqi terus bergerak menyeberangi Sungai Jarun. Bala tentaranya yang pemberani itu terus menyelidiki dan berputar mengitari bagian Kota Aquitane.



Kota demi kota, desa demi desa akhirnya jatuh di bawah pijakan kaki kudanya, bagaikan dedaunan yang jatuh di musim gugur. Raja Aquitane sekali lagi berusaha menghadang gerak maju tentara muslimin, sehingga peperangan dahsyat antara kedua pasukan itu kembali terjadi. Namun kemenangan kembali diraih oleh kaum muslimin, Gubernurnya pun tewas dalam pertempuran tersebut.



Jatuhnya kota Bordeaux ke tangan kaum muslimin merupakan batu loncatan bagi kejatuhan kota-kota penting lainnya, antara lain, Lyons, Bourbonnais dan Cannes. Kota terakhir ini terletak sekitar seratus mil dari Kota Paris. Seluruh kota terguncang atas jatuhnya sebagian besar wilayah Prancis bagian selatan ke tangan Panglima Abdurrahman Al-Ghafiqi, hanya dalam waktu beberapa bulan. Al-Ghafiqi bahkan dapat membebaskan beberapa daerah itu hanya dalam satu gebrakan.

Kini, di setiap tempat di Eropa ramai terdengar seruan untuk menghentikan bahaya yang datang dari timur itu. Seruan itu menghimbau seluruh penduduk Eropa untuk membendung bahaya dari timur itu “dengan dada jika pedang telah jatuh”, dan “mwnutup jalan di depannya dengan anggota badan ketika alat perang telah habis.” Seluruh Eropa memenuhi seruan itu. Mereka berkumpul di bawah pimpinan Karel Martel

Pasukan Islam telah sampai di Kota Tolouse, Kota Perancis terkemuka dan paling banyak penduduknya. Kota ini memiliki bangunan yang kuat dan mempunyai nilai sejarah yang tinggi. Lebih dari itu kota ini juga merupakan kota kebanggaan di seluruh daratan Eropa. Sebab di sana terdapat Gereja yang sangat megah dan luas serta menyimpan kekayaan yang sangat berharga.

Tentara Muslimin mengepung kota itu dengan ketat. Untuk menaklukkan kota itu mereka mengorbankan jiwa dan darah mereka. Tak lama kemudian kota tersebut akhirnya jatuh ke tangan mereka.

Pada sepuluh hari terakhir bulan Sya’ban tahun 140 Hijriyah, Abdurrahman Al-Ghafiqi dan bala tentaranya bergerak menuju Kota Poitiers. Di kota itulah ia bertemu dengan pasukan jalan kaki tentara Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel. Pertempuran hebat pun meletus. Pertempuran ini dikenal dengan nama Balathu Asy-Syuhada.

Pada hari itu tentara Islam meraih kemanangan yang gemilang, sayang, punggung tentara Islam sarat dengan harta-harta rampasan yang terus menumpuk. Di tangan mereka harta itu terus tertumpuk. Abdurrahman Al-Ghafiqi memandang harta kekayaan yang sangat banyak ini dengan penuh kegelisahan dan kekhawatiran Dia khawatir kaum muslimin terlena dengan harta tersebut, hatinya bimbang. Dia tidak yakin bahwa hati tentaranya akan konsentrasi selama peperangan. Sebab hati mereka telah dipenuhi dengan pikiran akan harta rampasan itu. Perhatian mereka terpecah pada usaha mengalahkan musuh dan bagaimana menjaga harta rampasan yang telah berada dalam genggamannya.

Sebenarnya Al-Ghafiqi berniat memerintahkan tentaranya untuk melepaskan harta rampasan yang sangat banyak dan melelahkan itu. Tapi ia khawatir, keputusannya itu tidak mereka sukai. Ia tidak memperoleh jalan terbaik kecuali memerintahkan untuk mengumpulkan harta-hata rampasan itu dalam kemah-kemah khusus. Kemah itu didirikan di belakang kamp tentara sebelum perang berkecamuk.

Selama beberapa hari bala tentara kedua belah pihak tidak bergerak. Masing-masing saling memperhatikan dengan diam, saling mengintai dengan tegang. Kedua kubu itu berdiri tegak bagaikan deretan gunung. Satu sama lain sia menyerang. Kedua belah pihak dengan cemas memperhatikan keberanian musuhnya dan berhitung seribu kali sebelum mulai menyerang.

Setelah keadaan tegang itu berlangsung cukup lama, Abdurrahman Al-Ghafiqi membuka serangan maju dengan kudanya di tengah-tengah barisan pasukan Perancis bagikan singa kelaparan yang mengamuk. Bala tentara kaum muslimin bagaikan gunung terjal yang tumbang. Pertempuran di hari pertama berlalu, di mana kekuatan kedua belah pihak masih seimbang.



Pada hari-hari berikutnya pertempuran berlangsung makin seru. Kaum muslimin menggempur pasukan Perancis dengan ganas dan berani. Perang berlangsung selama tujuh hari dengan dahsyat dan seru. Pada hari kedelapan kaum muslimin melancarkan serangan mendadak sehingga mereka dapat melumpuhkan barisan tengah. Waktu itu, kaum muslimin melihat cahaya kemenangan seperti cahaya subuh yang nampak di kegelapan.

Namun waktu itulah, sekelompok tentara Perancis menyerang gudang penyimpanan harta rampasan kaum muslimin. Ketika kaum muslimin melihat harta rampasannya hanpir berada di tangan musuh, banyak dari mereka yang kembali. Barisan tentara kaum muslimin menjadi kocar kacir. Panglima Al-Ghafiqi memompa semangat pasukannya untuk terus menyerang dan menutup celah-celah yang dapat ditembus musuh.

Pelana kuda yang tadinya berwarna putih kini menjadi hitam karena banyaknya serangan yang ia lancarkan. Ketika sedang bertempur itulah sebatang anak panah menancap ke tubuhnya sehingga ia jatuh dari punggung kudanya, diam tak bergerak, menjadi syahid di medan laga.

Melihat kejadian itu, ketakutan mulai merasuki jiwa pasukan muslimin. Mengetahui hal itu, tentara musuh berubah menjadi ganas dan bertambah keberaniannya.

Ketika hari subuh, pasukan Islam telah menarik diri dari Kota Poitiers. Karel Martel tidak berani mengejar tentara muslim yang mundur itu. Padahal seandainya ia terus melakukan pengejaran tentara pasti muslim terancam kalah. Namun dia tidak melakukan hal itu, karena khawatir bahwa panarikan pasukan itu merupakan jebakan untuk menyerang balik.

Hari Balathu Asy-Syuhada menjadi hari yang sangat berharga dalam sejarah. Hari itu kaum muslimin telah menghapus salah satu cita-cita luhur dan kehilangan salah satu seorang pahlawan besar. Duka di hari Perang Uhud terulang kembali. Pasukan Islam kalah karena lebih mementingkan harta rampasan.

Bukan hanya kaum muslimin yang kecewa dengan kegagalan itu, sebagian cendikiawan Perancis pun turut merasakan duka mendalam, sebab mereka melihat bahwa kemenangan nenek moyang mereka atas tentara muslim di Poitiers merupakan bencana yang menghancurkan kemanusiaan. Mendatangkan kerugian besar bagi Eropa dalam membangun peradabannya.

Berikut pernyataan Henry de Syamboun, seorang cendikiawan Prancis, tentang pertempuran Balathu Asy-Syuhada:

“Kalau tidak karena kemenangan Karel Martel yang biadab atas orang Islam Arab di Perancis, niscaya negara kita tidak akan mengalami nasib buruk dan tidak banyak menelan korban yang mendorong tumbuhnya rasa fanatik terhadap agama dan aliran. Kalau tidak karena kemenangan ganas itu atas kaum muslimin, niscaya Spanyol sudah dapat menikmati toleransi Islam dan selamat dari genggaman penguasa diktator. Perkembangan kebudayaan kita tidak terlambat selama delapan abad, meski terdapat perbedaan perasaan dan pendapat di sekitar kemenangan kita itu. Sebab kita memperoleh kebudayaan dan peradaban yang terpuji dari kaum muslimin, baik dari segi ilmu, kesenian, maupun industri. Sebenarnya mereka mengajak kita untuk mengakui bahwa mereka itu mempunyai kemanusiaan yang sempurna saat mana kita memiliki sifat-sifat biadab. Mereka membuat kita mengakui pada hari ini bahwa masa lalu kita telah terulang kembali. Sedangkan kaum muslimin telah sampai pada masa ini, sementara kita masih berada pada abad pertengahan.”
(Sumber:www.sufiz.com)


TAG

islamicline

Islamic Line Menyajikan berita / info, kajian, pengetahuan seputar dunia Islam.


0 thoughts on “Kisah Tabi’in Abdurrahman Al-Ghafiqi