Bersamaan dengan ditabuhnya genderang perang melawan terorisme di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, dan di Dusun Beji, Temanggung, Jawa Tengah, gamelan di Istana Negra, Jakarta, Jum’at malam (7/8), ditabuh.
Dengan pakaian serba hitam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didampingi Ny.Ani Yuhdoyono dan putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono, menjadi tuan rumah pergelaran wayang purwa dengan lakon Raja Suya Indraprastha. Lakon ini dimodifikasi dari lakon Sesaji Raja Suya yang mengisahkan tentang persiapan Pandawa maju perang Baratayudha.
Setelah menerima wayang Yudhistira berinisial SBY dari Presiden, dalang Ki Purbo Asmoro naik panggung. Pergelaran dengan gamelan dan wayang berinisial SBY pun dimulai. Tujuh sinden (penyanyi) berkebaya biru nembang diiringi tabuhan gamelan 23 niyaga berbeskap biru. Soal inisial SBY pada seluruh gamelan dan wayang yang dipakai, Ketua Umum Persatuan Perdalangan Indonesia, Ekotjipto saat memberikan kata pengantar sebelum pertunjukan mengaku terperanjat. Apa yang didapati itu membuatnya yakin, Presiden SBY mencintai wayang.
Pergeralaran wayang di Istana Negara sebagai bagian dari peringatan hari ulang tahun ke 64 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah sejarah kembalinya tradisi. Setelah hilang puluhan tahun, Jum’at malam sampai Sabtu dini hari, wayang kembali di gelar di Istana. Untuk tahun mendatang, tidak hanya wayang purwa yang akan dipertunjukkan di Istana Negara. Aneka jenis wayang se-Nusantara akan bergantian dipertunjukkan. Pergelaran wayang terakhir di Istana Negara terjadi di masa Presiden Soekarno.
Jangan membayangkan menonton wayang di Istana Negara seperti menonton wayang di desa, ketika wayang masih menjadi hiburan favorit. Nonton wayang di Istana memakai kursi yang disusun rapi. Selain tersedia beragam camilan dan makanan hangat, penonton juga bisa menatap tujuh sindennya.
Berbeda dengan pengalaman menonton wayang di era 1980 an, di mana nonton wayang di Istana dilakukan dibelakang dalang dan sindenyang menjadi tontonan. “Zaman sudah berubah. Yang dahulu tabu, melihat dalang dan sinden saat nonton wayang, kini ditinggalkan. Gerak zaman memang tengah mendobrak hal-hal yang selama ini ditabukan”, ujar Ekon,pemerhati wayang di Istana. Menurut Eko, tidak mengherankan jika dalam suatu pertunjukkan wayang, dalang kerap membawa sinden sampai dua puluhan, tentu tidak semua nembang. “Sebagian dibawa untuk menarik perhatian penonton dan tombo moto ngantuk”.
Namun, ditatap penonton langsung apalagi oleh Presiden dan sejumlah pejabat Istana Negara selain menjadi kebanggaan, juga menjadi siksaan. Apalagi sejumlah besar pejabat negaraikut menemani Presiden SBY menonton wayang. Kebiasaan dalang, penabuh gamelan, dan sinden merokok saat biasanya tampil harus ditinggalkan demi menjadi kesopanan.
Sepanjang pergelaran wayang tak ada bayang-bayang karena geber dan gawangannya disandarkan pada tembok. Semua persiapan Pandawa maju perang Baratayudha terlihat terang benderang seperti dituturkan dalang.
Sebaliknya, sepanjang malam itu juga, bahkan sampai petang, perang melawan terorisme yang bersamaan dilakukan kepolisian belum menemukan titik terang. Meskipun perang itu disiarkan langsung dari garis paling depan, semua gelap tak berwujud seperti bayang-bayang. Perang mungkin masih panjang.
(Sumber : A Wisnu Nugroho/Kompas)
Stigma negatif Islam terus dibesar-besarkan. Pada saat yang sama banyak umat Islam yang termakan ghazwul fikri ini.
BalasHapus