Delapan tahun yang lalu, tepatnya 11 September 2001, kesunyian pagi waktu setempat New York, AS, menggelegar. Dua buah gedung World Trade Center (WTC) luluh-lantak hancur berkeping-keping oleh hantaman pesawat terbang komersial. Rakyat AS mengingatnya sama dalamnya ketika mereka diserang oleh Jepang dalam peristiwa Pearl Harbour.
Hari ini, Amerika murung. Namun sebenarnya kemurungan itu bukan hanya milik AS saja, tapi kemudian ke seluruh belahan dunia: siapapun—ya, siapapun!, kecuali orang-orang yang tak punya nurani dan hanya punya kedengkian, dan hanya mementingkan diri dan kepentingan golongannya sendiri—tak akan pernah bisa menerima peristiwa laknat itu: dengan dalih apapun, dalam situasi seperti sekarang ini, penyerangan terhadap WTC tidak bisa dibenarkan.
Kemudian sejarah berulang. Ketika WTC yang lebur dengan tanah dan kemudian menjadi ground zero ditayangkan berulang-ulang di televisi di seluruh dunia, mereka yang menyebarkan Islam dengan sesungguhnya sadar sesadar-sadarnya, bahwa bahaya besar tengah mengancam.
Benar saja, kemudian setelah itu, George W. Bush mendeklrasikan perang terhadap teroris, namun pratiknya, lebih tepat terhadap umat Islam. Kejadian di Iraq, mulai dari lengsernya Saddam Hussein, sampai kemudian invasi pasca-huru-hara yang masih tetap menjadi huru-hara sampai saat ini, dan pendudukan Afghanistan, dengan segala banyak retorikanya yang semuanya menyudutkan umat Islam, dengan tudingan sebagai pelaku besar penyerangan terhadap WTC. Siapa gerangan Usamah bin Ladin? Jika benar Usamah orang Islam yang sesungguh-sungguhnya, maka ini adalah jenis Muslim yang tak tahu diri: menyerang, bersembunyi, dan menimpakan semua akibatnya pada seluruh Muslim di dunia.
Kemudian, episode penjeratan teroris tak pernah berhenti. Semuanya—apa boleh buat—dilabeli dengan “Islam.” The New York Times menulis, selama beberapa tahun kemudian, negara-negara seperti AS dan Eropa, hanya bertempur tak jelas daripada memerangi musuh sebenarnya. Masih menurut Times, perang melawan terror di Afghanistan telah menjerumuskan negara Mullah itu pada lautan opium dan keterbelakangan rakyatnya. Sedangkan Iraq—Times menulis—yang tak ada hubungannya sama sekali dengan 9/11 ketika didudukki, berdarah dan sekarat dipenuhi oleh generasi tanpa masa depan, yang bisa jadi anarkis.
Jika semua mata tak mau membuka pada kebenaran sesungguhnya, bagi siapapun akan terlihat wajar pada akhirnya siapa kemungkinan di balik tragedi memilukan ini, situasi mencekam di seluruh dunia ini akan berubah. Islam sama sekali bukan agama yang mengajarkan teror dan kekerasan.
Dalam setiap peperangan yang akan dihadapi, wejangan Muhammad saw—Rasul yang oleh Michael Hart disebut sebagai orang nomor satu paling berpengaruh di sepanjang sejarah umat manusia—kepada tentara-tentaranya adalah, “Jangan pernah mengganggu anak kecil, wanita, orang tua, dan tempat ibadah. Jangan merusak tanaman….” Jangan merusak tanaman? Pernahkah itu terlintas dalam setiap siapa saja yang sedang turun dalam peperangan yang kejam dan bodoh sekarang ini?
Mereka yang bersikeras pada pendirian ini, dan juga diam pada kebenaran yang semu untuk memalingkan semua sentimen agama dan keyakinan, maka hanya akan terjebak selamanya dalam kondisi seperti itu. Seharunya, kita semua melihat lagi 11 September 2009, sebagai lebih dari satu hari untuk mengingat dan kehilangan kesempatan yang pernah ada namun tercerabut oleh label “teroris” tak berdasar.
(sumber:eramuslim.com)
Benar saja, kemudian setelah itu, George W. Bush mendeklrasikan perang terhadap teroris, namun pratiknya, lebih tepat terhadap umat Islam. Kejadian di Iraq, mulai dari lengsernya Saddam Hussein, sampai kemudian invasi pasca-huru-hara yang masih tetap menjadi huru-hara sampai saat ini, dan pendudukan Afghanistan, dengan segala banyak retorikanya yang semuanya menyudutkan umat Islam, dengan tudingan sebagai pelaku besar penyerangan terhadap WTC. Siapa gerangan Usamah bin Ladin? Jika benar Usamah orang Islam yang sesungguh-sungguhnya, maka ini adalah jenis Muslim yang tak tahu diri: menyerang, bersembunyi, dan menimpakan semua akibatnya pada seluruh Muslim di dunia.
Kemudian, episode penjeratan teroris tak pernah berhenti. Semuanya—apa boleh buat—dilabeli dengan “Islam.” The New York Times menulis, selama beberapa tahun kemudian, negara-negara seperti AS dan Eropa, hanya bertempur tak jelas daripada memerangi musuh sebenarnya. Masih menurut Times, perang melawan terror di Afghanistan telah menjerumuskan negara Mullah itu pada lautan opium dan keterbelakangan rakyatnya. Sedangkan Iraq—Times menulis—yang tak ada hubungannya sama sekali dengan 9/11 ketika didudukki, berdarah dan sekarat dipenuhi oleh generasi tanpa masa depan, yang bisa jadi anarkis.
Jika semua mata tak mau membuka pada kebenaran sesungguhnya, bagi siapapun akan terlihat wajar pada akhirnya siapa kemungkinan di balik tragedi memilukan ini, situasi mencekam di seluruh dunia ini akan berubah. Islam sama sekali bukan agama yang mengajarkan teror dan kekerasan.
Dalam setiap peperangan yang akan dihadapi, wejangan Muhammad saw—Rasul yang oleh Michael Hart disebut sebagai orang nomor satu paling berpengaruh di sepanjang sejarah umat manusia—kepada tentara-tentaranya adalah, “Jangan pernah mengganggu anak kecil, wanita, orang tua, dan tempat ibadah. Jangan merusak tanaman….” Jangan merusak tanaman? Pernahkah itu terlintas dalam setiap siapa saja yang sedang turun dalam peperangan yang kejam dan bodoh sekarang ini?
Mereka yang bersikeras pada pendirian ini, dan juga diam pada kebenaran yang semu untuk memalingkan semua sentimen agama dan keyakinan, maka hanya akan terjebak selamanya dalam kondisi seperti itu. Seharunya, kita semua melihat lagi 11 September 2009, sebagai lebih dari satu hari untuk mengingat dan kehilangan kesempatan yang pernah ada namun tercerabut oleh label “teroris” tak berdasar.
(sumber:eramuslim.com)
0 thoughts on “Delapan Tahun 11 September 2001: Dimana Teroris Itu Bermula?”