PADA pertengahan Mei 2011 lalu, di halaman depan salah satu Koran ternama di Indonesia, memuat profil seorang tokoh pembuat film panas, yang konon katanya menjadi ‘penggagas’ mendatangkan para aktris film porno luar negeri di negeri yang mayoritas Muslim ini. Dari penjelasannya yang dimuat di Koran tersebut, tersirat kepuasan sang artis ‘panas’.
Padahal, jelas bahwa mengundang dan memproduksi film-film yang berbau porno itu adalah perbuatan cabul dan berdosa, karena mempertontonkan sesuatu yang tidak layak ditonton.
Lebih ganas lagi, tidak sedikit orang yang memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, untuk ‘mempromosikan’ perbuatan dosa yang pernah dikerjakannya.
Sebelumnya, seorang artis ternama diadili karena rekaman vidio porno mereka tersebar di internet dan HP. Apa pun alasannya, termasuk sebagai konsumsi pribadi, proses perekaman tidak dibenarkan, karena bisa mengundang minat si-pemilik atau pun orang lain untuk menyebarluaskannya. Ingat kata pepatah, “Tidak mungkin akan ada asap kalau tidak ada api.” Artinya, tidak mungkin ada penyebaran kalau tidak ada rekaman.
Herannya, di negeri ini, orang melakukan tindakan amoral masih bisa cengengesan (ketawa-ketiwi, red), di depan publik. Namun beginilah realitas dan potret nyata kehidupan sebagian masyarakat Indonesia yang tengah mengalami krisis moral, krisis malu ini.
Buahnya, mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada rasa cemas sedikit pun. Maka benar lah apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah yang dirwayatkan oleh Bukhari, “Idza lam tahtahyi fashna’ maa Syi’ta” (Apa bila kamu tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu).
Dosanya Lebih Besar
Sejatinya, tertutubnya suatu aib seseorang dari pengetahuan khalayak umum, merupakan ‘kebaikkan’ Allah yang dianugerahkan kepadanya. Sekali pun dia telah melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah, namun Dia tetap mengasihinya dengan cara mentabiri keburukkan yang telah ia perbuat.
Dengan demikian, seharusnya orang tersebut ‘bersyukur’ karena aibnya tidak terbongkar, bukan justru sebaliknya, membuka tabir yang telah tertutup rapat-rapat. Dan yang lebi celaka lagi, tidak sedikit orang justru bangga dengan menyebarluaskan keburukkannya tersebut (sebagaimana yang telah ditulis di atas).
Sungguh perilaku macam ini, adalah seburuk-buruk tindakkan. Dan dosanya, jauh lebih besar melampaui dosa perbuatan dosa yang telah dia kerjakan. Dalam suatu riwayat, Rosulullah pernah bersabda, bahwa sungguh celaka/terlaknat orang yang melakukan perbuatan dosa di malam hari, kemudian, keesokkannya ia menceritakan segala hal yang telah dia kerjakan kepada orang lain, padahal Allah telah menutupinya. Begitu pula sebaliknya, orang yang melakukan maksiat ke pada Allah pada siang hari, kemudian, malam harinya, dia menceritakan kepada kerabat-kerabatnya, padahal Allah pun telah menyekapnya rapat-rapat.
Bertaubatlah !
Manusia adalah tempat kesalahan lagi lupa, "Al insaanu mahallul khoto wan nisyaan," kata pepatah. Artinya, bagaimana pun jua usaha kita menghindari kesalahan, sadar atau tidak sadar, manusia terkadang telah terjerumus dalam suatu kesalahan. Jangankan kita, manusia biasa, Nabi Muhammad, yang notabene sebagai kekasih Allah, pun tidak luput dari perkara ini.
Pernah suatu hari, ketika Rasulullah tengah asik mendakwahi para pemimpin Quraisy, tiba-tiba datang di tengah forum tersebut seorang laki-laki buta, yang kalau ditinjau dari kelas sosialnya, dia berada di level bawah, di banding tokoh-tokoh Quraisy yang berada di hadapan beliau.
Karenanya, Rosulullah pun kurang mempedulikan kehadiran laki-laki tersebut (Abdullah bin Ummi Maktum), padahal, kedatangannya untuk memenuhi panggilan Allah dan Rosul-Nya, mengucapkan kalimat syahadat. Karena perilaku tersebut, Rosulullah pun ditegur oleh Allah dengan diturunkannya surat ‘Abasa, yang artinya:
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berplaing. Karena seorang buta telah datang kepadanya.” (QS: Abasa: 1-2).
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa manusia tidak bisa menghindari kesalahan seratus persen. Dan yang menjadi permasalahan, bukan perilaku salah itu sendiri, namun cara pandang kita, atau respon kita terhadap kesalahan itulah yang perlu kita perbaikki.
Bertaubat merupakan kafarah dari kesalahan yang telah kita perbuat (Wa khairu khathaiina Thawwabiina). Dan ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh, penuh kesadaran. Kalau pelanggarannya tersebut hanya berkaitan dengan Allah, maka yang harus dia lakukan, menyesalinya dan tidak mengulanginya lagi untuk yang ke-duakalinya (Taubatan Nashuha).
Namun, apa bila itu berkaitan dengan urusan bani adam –mencuri- misalnya, maka, selain dia harus melakukan dua hal di atas, dia juga harus meminta maaf kepada siapa yang telah dia sakiti.
Dengan demikian, noda-noda hitam yang diakibatkan tingkah-laku buruk kita bisa dihapus, sebagaimana air yang mampu memadamkan api.
Rasulullah bersabda, “Bertaqwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik tersebut akan menghapus perbuatan buruk tersebut, dan pergauilah sesama manusia dengan akhlak yang baik”, (H.R. Tarmidzi).
Marilah kita ciptakan budaya malu berbuat maksiat dengan cara memperbanyak kebaikan. Sebagaimana firman Allah
“Sesungguhnya kebaikkan-kebaikkan itu menghilangkan keburukkan-keburukkan.” (QS: Hud:114). Wallahu ‘alam bis-shawab.*
Padahal, jelas bahwa mengundang dan memproduksi film-film yang berbau porno itu adalah perbuatan cabul dan berdosa, karena mempertontonkan sesuatu yang tidak layak ditonton.
Lebih ganas lagi, tidak sedikit orang yang memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, untuk ‘mempromosikan’ perbuatan dosa yang pernah dikerjakannya.
Sebelumnya, seorang artis ternama diadili karena rekaman vidio porno mereka tersebar di internet dan HP. Apa pun alasannya, termasuk sebagai konsumsi pribadi, proses perekaman tidak dibenarkan, karena bisa mengundang minat si-pemilik atau pun orang lain untuk menyebarluaskannya. Ingat kata pepatah, “Tidak mungkin akan ada asap kalau tidak ada api.” Artinya, tidak mungkin ada penyebaran kalau tidak ada rekaman.
Herannya, di negeri ini, orang melakukan tindakan amoral masih bisa cengengesan (ketawa-ketiwi, red), di depan publik. Namun beginilah realitas dan potret nyata kehidupan sebagian masyarakat Indonesia yang tengah mengalami krisis moral, krisis malu ini.
Buahnya, mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada rasa cemas sedikit pun. Maka benar lah apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah yang dirwayatkan oleh Bukhari, “Idza lam tahtahyi fashna’ maa Syi’ta” (Apa bila kamu tidak malu, maka berbuatlah sekehendakmu).
Dosanya Lebih Besar
Sejatinya, tertutubnya suatu aib seseorang dari pengetahuan khalayak umum, merupakan ‘kebaikkan’ Allah yang dianugerahkan kepadanya. Sekali pun dia telah melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah, namun Dia tetap mengasihinya dengan cara mentabiri keburukkan yang telah ia perbuat.
Dengan demikian, seharusnya orang tersebut ‘bersyukur’ karena aibnya tidak terbongkar, bukan justru sebaliknya, membuka tabir yang telah tertutup rapat-rapat. Dan yang lebi celaka lagi, tidak sedikit orang justru bangga dengan menyebarluaskan keburukkannya tersebut (sebagaimana yang telah ditulis di atas).
Sungguh perilaku macam ini, adalah seburuk-buruk tindakkan. Dan dosanya, jauh lebih besar melampaui dosa perbuatan dosa yang telah dia kerjakan. Dalam suatu riwayat, Rosulullah pernah bersabda, bahwa sungguh celaka/terlaknat orang yang melakukan perbuatan dosa di malam hari, kemudian, keesokkannya ia menceritakan segala hal yang telah dia kerjakan kepada orang lain, padahal Allah telah menutupinya. Begitu pula sebaliknya, orang yang melakukan maksiat ke pada Allah pada siang hari, kemudian, malam harinya, dia menceritakan kepada kerabat-kerabatnya, padahal Allah pun telah menyekapnya rapat-rapat.
Bertaubatlah !
Manusia adalah tempat kesalahan lagi lupa, "Al insaanu mahallul khoto wan nisyaan," kata pepatah. Artinya, bagaimana pun jua usaha kita menghindari kesalahan, sadar atau tidak sadar, manusia terkadang telah terjerumus dalam suatu kesalahan. Jangankan kita, manusia biasa, Nabi Muhammad, yang notabene sebagai kekasih Allah, pun tidak luput dari perkara ini.
Pernah suatu hari, ketika Rasulullah tengah asik mendakwahi para pemimpin Quraisy, tiba-tiba datang di tengah forum tersebut seorang laki-laki buta, yang kalau ditinjau dari kelas sosialnya, dia berada di level bawah, di banding tokoh-tokoh Quraisy yang berada di hadapan beliau.
Karenanya, Rosulullah pun kurang mempedulikan kehadiran laki-laki tersebut (Abdullah bin Ummi Maktum), padahal, kedatangannya untuk memenuhi panggilan Allah dan Rosul-Nya, mengucapkan kalimat syahadat. Karena perilaku tersebut, Rosulullah pun ditegur oleh Allah dengan diturunkannya surat ‘Abasa, yang artinya:
عَبَسَ وَتَوَلَّى
أَن جَاءهُ الْأَعْمَى
أَن جَاءهُ الْأَعْمَى
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berplaing. Karena seorang buta telah datang kepadanya.” (QS: Abasa: 1-2).
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa manusia tidak bisa menghindari kesalahan seratus persen. Dan yang menjadi permasalahan, bukan perilaku salah itu sendiri, namun cara pandang kita, atau respon kita terhadap kesalahan itulah yang perlu kita perbaikki.
Bertaubat merupakan kafarah dari kesalahan yang telah kita perbuat (Wa khairu khathaiina Thawwabiina). Dan ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh, penuh kesadaran. Kalau pelanggarannya tersebut hanya berkaitan dengan Allah, maka yang harus dia lakukan, menyesalinya dan tidak mengulanginya lagi untuk yang ke-duakalinya (Taubatan Nashuha).
Namun, apa bila itu berkaitan dengan urusan bani adam –mencuri- misalnya, maka, selain dia harus melakukan dua hal di atas, dia juga harus meminta maaf kepada siapa yang telah dia sakiti.
Dengan demikian, noda-noda hitam yang diakibatkan tingkah-laku buruk kita bisa dihapus, sebagaimana air yang mampu memadamkan api.
Rasulullah bersabda, “Bertaqwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik tersebut akan menghapus perbuatan buruk tersebut, dan pergauilah sesama manusia dengan akhlak yang baik”, (H.R. Tarmidzi).
Marilah kita ciptakan budaya malu berbuat maksiat dengan cara memperbanyak kebaikan. Sebagaimana firman Allah
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِّنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“Sesungguhnya kebaikkan-kebaikkan itu menghilangkan keburukkan-keburukkan.” (QS: Hud:114). Wallahu ‘alam bis-shawab.*
0 thoughts on “Jangan Bangga dengan Dosa”